MANUSIA TIDAK KENAL KATA PUAS

" Yesterday you worried about to day. 
To day you worry about tomorrow. 
And tomorrow you'll worry about the day after tomorrow. 
Not tired?"

Kalimat panjang yang mengajak kita merenung itu saya kutip dari status BBM seorang teman yang kebetulan bekerja di sebuah lembaga keuangan mikro ternama. Wah keren banget nih orang bisa merangkai kata-kata berbahasa inggris seperti itu pikir saya. Setelah cukup lama mencoba memahami artinya (maklum gak ngeh bahasa bule), iseng saya BBM dia sekedar memberikan respon, eh ternyata diluar dugaan, teman yang selama ini dikenal tenang dan bijak ternyata sebegitu galaunya dengan beban pekerjaannya, sehingga tanpa basa-basi dia langsung nyerocos mengeluhkan semuanya. Dari sekian panjang pesan yang dikirimkan kesimpulannya hanya satu: kata-kata bijak yang dia tulis itu ternyata perasaan hatinya yang sudah jenuh dengan pekerjaan yang dijalaninya, pekerjaan yang selalu menekannya dengan target yang selalu bertumbuh. Bila akhir bulan ini bisa mencapai target, maka awal bulan berikutnya sudah menunggu dengan target yang baru lagi. Bila bulan ini tidak bisa mencapai target maka akan diakumulasi di bulan berikutnya dengan embel-embel teguran tentunya. Begitu seterusnya sampai dia bilang capek deh (alay mode on).

Masalah itu mungkin tidak hanya dialami teman saya saja, bahkan bisa jadi saya dan anda pun mengalaminya.  Walau mungkin konteksnya berbeda, tapi kondisinya kita sama-sama terjebak dengan kehidupan yang memaksa kita tidak boleh puas dengan apa yang sudah kita peroleh. Jaman sekarang mana ada sih perusahaan yang membiarkan karyawannya puas dengan satu titik keberhasilan tanpa memberikan tantangan berikutnya, maklum perusahaan bukan dinas sosial.

Kalau di pikir-pikir ngeri juga ya hidup dengan ritme pekerjaan seperti itu, selain hidup penuh dengan kekhawatiran, takutnya tanpa disadari pelan-pelan budaya kerja seperti itu bisa merubah kita menjadi manusia yang tak pernah bisa puas dan selalu merasa kurang dalam kehidupan pribadi. Dalam takaran tertentu hal itu mungkin masih positif karena bisa menjadi penyemangat untuk berbuat dan mendapatkan yang lebih baik, namun bila berlebihan ini akan mengakibatkan kita menjadi manusia buas yang tamak bin serakah, super ambisius dan kufur terhadap nikmat Tuhan yang pada akhirnya hanya akan membuat kita menderita.

Bukankah hal itu wajar dan sudah menjadi potret kehidupan manusia modern saat ini? Kerja siang malam untuk urusan duniawi dan mengabaikan kepentingan akhiratnya. Bahkan berat rasanya meluangkan waktu sebentar saja untuk menunaikan ibadah. Manusia tanpa lelah berlomba-lomba memperbanyak harta seolah-olah merasa gak pernah cukup untuk bekal hidup yang singkat ini dan mengabaikan bekal untuk kehidupan yang kekal nanti. Memang sih fenomena ini sebenarnya bukan hanya monopoli manusia modern saja, ini sudah terjadi sejak dulu kala. Karena hal ini menyangkut sifat dasar manusia yang memang secara kodrati memiliki kecenderungan untuk tamak dan rakus tanpa merasa puas atas apa yang dimilikinya. Tetangga saya yang kebetulan berprofesi sebagai dosen pernah bilang bahwa seorang John Adam Smith, filsuf yang merupakan pelopor ilmu ekonomi modern, menyebut manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) yaitu makhluk yang memiliki kecenderungan tidak pernah puas dengan apa yang telah diperolehnya dan tanpa lelah terus menerus berusaha dalam memenuhi kebutuhannya. Bahkan ustadz saya juga pernah dawuh bahwa jauh sebelum mas Adam Smith mengidentifikasi manusia sebagai makhluk ekonomi, Baginda Rasulullah terlebih dahulu telah mendeskripsikan manusia sebagai makhluk rakus yang gak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, hal ini seperti yang disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا
وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Dan tidaklah manusia akan merasa kenyang, kecuali sampai perutnya dipenuhi dengan tanah (mati). Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari).

Manusia diciptakan dengan spek yang sangat istimewa. Ia tidak hanya diberi nafsu namun juga dilengkapi dengan akal (otak). Nafsu sangat diperlukan untuk menggerakkan manusia agar bisa semangat dalam berusaha, sedangkan akal (selain sebagai pembeda dengan binatang) juga sangat dibutuhkan untuk mengontrol operasionalisasi nafsu agar tidak memberikan ekses negatif dan merugikan kehidupan manusia itu sendiri. Dan Allah pun melengkapi spek manusia dengan perangkat hati nurani sebagai antisipasi solusi apabila terdapat kecenderungan koalisi antara nafsu dan akal. Tiga elemen penting inilah yang berperan mempengaruhi output sifat, sikap dan tindakan manusia.

Jadi, walaupun kita sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) yang memiliki kecenderungan untuk tamak dan tidak pernah puas, namun kita juga dibekali oleh Allah akal pikiran yang seharusnya difungsikan untuk mengontrol dan menjaga kita agar terhindar dari sifat dan sikap negatif yang bisa menghancurkan kehidupan kita. Dan ketika akal berfungsi tidak pada jalur yang seharusnya alias terkontaminasi oleh nafsu, maka hati nuranilah yang dijadikan pijakan, karena hati nurani memiliki kekuatan dan kejernihan dalam memandang persoalan.

Hidup Hanum !!! (hati nurani manusia..hehe..)

By: Ahmad Munir

0 komentar:

Posting Komentar