LAHIRNYA MASYARAKAT KEMASAN (PACKAGING SOCIETY)

Pengertian Masyarakat atau Society berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sedangkan menurut Selo Soemardjan (1984) masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
Sehingga dari beberapa pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa Masyarakat adalah kumpulan individu atau kelompok yang saling berhubungan dan bersifat saling ketergantungan atau terikat antara satu dengan yang lainnya, yang memiliki kesamaan perilaku dan adat istiadat.
Masyarakat bisa kita klasifikasikan berdasarkan latar belakangnya, pendidikannya, ideologinya, cara mencari mata pencahariannya atau juga berdasarkan kompleksitas dan besarnya. Contohnya kita mengenal ada yang disebut masyarakat abangan, masyarakat suku, masyarakat nelayan, masyarakat modern dan lain sebagainya (salah satunya yang coba dihadirkan disini adalah masyarakat kemasan).

Kata kemasan (Packaging) sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring adalah hasil mengemas; bungkus pelindung barang dagangan (niaga). Kemasan berasal dari kata kemas yang berarti teratur (terbungkus) rapi; bersih; rapi; beres; kuat. Dengan pengertian tersebut dapat di definisikan bahwa Kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk membungkus atau melindungi suatu barang agar tetap utuh, aman dan rapi.

Di era modern ini, fungsi kemasan tidak lagi hanya sekedar pelindung atau pembungkus untuk mengamankan isi didalamnya serta memberikan kesan rapi semata. Fungsi kemasan sudah bergeser menjadi alat branding atau pencitraan suatu produk, merk atau bahkan orang atau komunitas agar memiliki nilai dan kesan lebih bonafide dan wah dibandingkan yang lain. Seringkali kita menilai sebuah produk, orang atau kelompok berdasarkan kemasannya. Logikanya semakin bagus sebuah kemasan maka disinyalir akan semakin bagus isinya.
Benarkah demikian? Dulu mungkin iya, disaat semua orang masih sama pedulinya terhadap kualitas kemasan dan isinya. Namun saat ini banyak kita lihat realitas yang menunjukkan perbedaan antara kualitas kemasan dan isinya. Saat ini orang-orang atau kelompok lebih peduli untuk mempercantik-memperindah kemasannya saja namun abai terhadap kualitas isinya. Contoh nyata, banyak ditemui rumah makan dengan tampilan dekorasi yang istimewa dan berkelas namun kualitas cita rasa masakan yang di sajikan sama sekali jauh dari kata “endes” (enak), bahkan kualitas rasa masakannya kalah jauh dibandingkan warung sederhana. Fakta lainnya banyak dijumpai orang-orang yang lebih peduli untuk memoles penampilannya secara
berlebihan namun lupa untuk mempercantik kualitas dirinya. Banyak terjadi masyarakat yang memaksakan diri membeli barang, perhiasan, mobil, atau kendaraan yang bagus tanpa peduli dengan kemampuannya yang terbatas sehingga harus berhutang atau bahkan tidak ragu-ragu untuk bertindak kriminal (termasuk korupsi). Semua itu dilakukan untuk memberikan kesan indah terhadap kemasan atau tampilan sosialnya sehingga branding yang tertanam dimasyarakat lebih kuat dengan adanya kesan bonafide tersebut.
Tidak masalah apabila benar-benar memiliki kualitas dan kemampuan untuk melakukan itu semua, namun akan menjadi persoalan apabila harus memaksakan diri untuk tampil bonafide tanpa melihat kemampuan dan kualitas yang dimiliki. Pemaksaan tersebut pada akhirnya hanya akan menghadirkan penderitaan dan penyesalan.

Gambaran tersebut bisa jadi merupakan sebuah indikasi dari lahirnya sebuah entitas masyarakat baru yaitu Masyarakat Kemasan (Packaging Society) sebuah kelompok individu yang lebih memperdulikan tampilan atau kemasan dibandingkan kualitasnya. Dan ironisnya  bukan hanya orang dewasa saja, banyak kita jumpai kalangan generasi muda yang kebanyakan masih labil dan belum bisa mandiri secara financial terjangkit virus packaging society. Lantas siapa yang harus disalahkan ketika banyak diantara mereka yang nekad bunuh diri karena orang tuanya tidak mampu mengabulkan permintaannya untuk membelikan Smartphone atau bahkan sepeda motor agar bisa tampil trendy?. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab ketika mereka nekad ambil jalan pintas menjadi pengedar narkoba, pelacur dan perbuatan asusila lainnya demi memenuhi hasrat shoping dan hedonismenya? Wallahu A’lam.

by: Ahmad Munir

0 komentar:

Posting Komentar