POTRET BACAAN AL-QUR'AN (sebagian) IMAM SHALAT

Sebuah kebahagiaan yang luar biasa, terasa dihati tatkala berada di bulan suci ramadhan seperti saat ini. Kehidupan sosial kemasyarakatan terasa lebih hidup, banyak kegiatan berbagi rejeki dengan para dhuafa, anak yatim dan lain-lain, kesemuanya itu merupakan rangkaian ibadah yang terwujud dari bergeloranya kehidupan spritual kita di bulan suci ini. Dengan semangat ibadah tersebut tidak heran kalau kehidupan masjid terasa lebih semarak. Masyarakat berlomba-lomba untuk memakmurkan masjid dengan melaksanakan kegiatan ibadah shalat isyak dan tarawih secara berjamaah yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan tadarus.

Potret (sebagian) Imam
Di beberapa daerah, kegiatan shalat isyak dan tarawih ini biasanya dipimpin oleh imam yang berbeda setiap harinya karena ada sebuah lembaga dakwah yang mengkoordinir untuk mendelegasikan para imam tersebut ke masjid – masjid yang ada dilingkungan perumahan dan perkampungan. Umumnya imam-imam tersebut masih muda dengan semangat yang luar biasa. Namun sayangnya semangat mereka tidak diimbangi dengan pengetahuan ilmu al-Qur’an (tajwid) yang memadai, sehingga seringkali bacaan al-Qur’an mereka ketika mengimami shalat kurang tepat (atau bahkan salah), baik dari pelafazan huruf-huruf hijaiyahnya( makhorijul huruf) maupun panjang pendeknya bacaan suatu huruf. Semakin miris membaca data yang disampaikan oleh salah satu imam masjid Al-Akbar Surabaya (MAS) ketika melakukan pelatihan untuk para imam masjid di Surabaya yang diikuti oleh puluhan imam masjid. Sangat memprihatinkan ketika dilakukan tes baca Al-Qur’an dengan tartil(sesuai tajwid/ilmu baca Qur’an). Diantara puluhan peserta tersebut hanya empat imam yang dinyatakan lulus dan memenuhi bacaan Al-Qur’an dengan benar. (Jawa Pos, 21 Juli 2012). Hal ini menjadi bahan perenungan tersendiri bagi kita terutama bagi lembaga-lembaga dakwah islam yang melakukan pendelegasian imam-imam masjid tersebut. Mengingat rukun shalat itu salah satunya adalah membaca Al-Qur’an (surat Al-Fatihah) dengan susunan yang betul dan dengan pelafazan yang betul pula. Sehingga dengan demikian kefasihan atau minimal ketepatan dalam membaca al-Qur’an menjadi salah satu syarat sahnya shalat berjamaah.  

Kompetensi Imam
Memang menjadi imam adalah tugas yang mulia yang memiliki banyak keutamaan(fadilah), diantaranya disebutkan dalam sebuah hadist bahwa dia (imam) memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat dibelakangnya. Imam yang berhak atas fadilah yang telah dijanjikan Allah tersebut adalah imam yang memiliki minimal 2 kompetensi berikut :
1. Kompetensi Membaca Al-Qur’an. Untuk menjadi imam yang sesuai dengan syari’at haruslah mempunyai kemampuan yang memadai dalam hal tilawatil qur’an, sesuai dengan anjuran Rasullullah SAW dalam sebuah hadis Dari Ibnu Mas’ud diterangkan:“ Rasulullah SAW bersabda:’Yang (berhak) mengimami suatu kaum(jamaah) itu hendaklah yang paling baik bacaan kitab Allah (al-Qur’an)nya. Jika diantara mereka itu sama, maka hendaklah yang paling tahu tentang as-sunnah. Dan apabila diantara mereka sama pengetahuannya tentang as-sunnah, maka hendaklah yang paling dahulu berhijrah. Dan apabila diantara mereka sama dalam berhijrah, maka hendaklah yang paling dahulu memeluk islam’. Dalam riwayat lain disebutkan :’Yang paling tua usianya. Dan janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya dan jangan pula ia duduk dirumahnya, yakni ditempat terhormat baginya kecuali dengan seijinnya.’”(HR. Muslim).
2. Kompetensi Terhadap Hukum-Hukum Shalat (Ilmu Fiqih). Seorang imam selain memiliki kompetensi membaca Al-Qur’an, dituntut juga mengerti tentang syarat-syarat, rukun-rukun dan kewajiban dalam shalat. Mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat dan hukum-hukum lainnya. Dalam kitab Fathul Bari, hafidh Ibnu Hajar mengatakan:”Sudah jelas bahwa dikedepankannya orang-orang yang paling pandai bacaan Al-Qur’annya berarti ia juga orang yang paling mengerti kondisi shalatnya sendiri. Namun kalau ternyata tidak mengerti kondisi shalatnya, maka secara mufakat dikatakan bahwa ia tidak berhak dikedepankan”. Jadi untuk meminimalisasi kesalahan saat shalat berjamaah sebaiknya kita memilih imam yang memiliki kompetensi tersebut sehingga bisa menyempurnakan shalatnya. Lalu bagaimana jika kita shalat diimami oleh orang yang tidak bagus bacaan Qur’annya? Menurut pendapat Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baazz dalam Majmu’ Fataawaa Wa Maqaalaat dijelaskan bahwa apabila kesalahan bacanya tidak sampai merubah makna ayat, maka tidak apa-apa shalat dengan bermakmum kepadanya. Dengan kata lain shalatnya tetap sah. Namun apabila kesalahan baca tersebut sampai merubah makna, maka tidak boleh shalat bermakmum dengannya jika orang tersebut tidak mengambil manfaat untuk belajar atau memperbaiki bacaannya setelah dikasih tahu oleh makmum. Akan tetapi apabila si imam tersebut menerima arahan dan memperbaiki bacaannya setelah diberitahu oleh makmum, maka shalat dan bacaannya itu dianggap sah. Adapun cara yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah untuk memberitahu imam yang salah dalam bacaan Al-Qur’annya ketika sedang shalat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu mengucapkan kalimat tasbih (subhanallah) bagi laki-laki dan tepuk tangan untuk perempuan. Hanya itu cara yang bisa dilkukan untuk memberitahu imam ketika ia melakukan kesalahan, baik bacaan maupun gerakan. Dan ketika kita sebagai makmum sudah melakukan cara tersebut untuk memberitahu imam tentang kesalahan bacaannya maupun gerakannya, namun imam tetap melakukan kesalahan, maka tanggung jawab sepenuhnya ada pada imam.  

Kesimpulan
Bacaan Al-Qur’an dalam shalat adalah bagian penting dan pokok karena termasuk syarat sah dan rukun shalat. Sehingga sebuah kemutlakan bagi imam untuk membacanya dengan cara yang benar. Bacaan Qur’an yang baik dan benar tidak hanya menjamin keabsahan shalat akan tetapi juga mampu mempengaruhi kekhusukan jamaah dalam shalat. Semoga dibulan suci ramadhan tahun ini kita bisa membuka hati untuk mengevaluasi diri, menimbang diri apakah kita layak menjadi imam untuk shalat jamaah ataukah ada orang lain yang lebih berhak daripada kita berdasarkan sudut pandang syari’at. Ketika kita mendapati diri kita masih belum layak dan keilmuan kita belum memadai maka sebaiknya menahan diri untuk tidak maju sebagai imam, karena sejatinya tugas seorang imam sangatlah berat karena ia bertanggungjawab terhadap jamaahnya serta akan dimintakan pertanggungjawaban kelak diakhirat. Dan seyogyanya, menjadi kewajiban kita sebagai muslim untuk terus belajar dan meng-upgrade kemampuan dan keilmuan kita agar sesuai dengan tuntunan Rosulullah SAW. Begitupun juga dengan lembaga-lembaga dakwah islam seharusnya menggalakkan pelatihan-pelatihan membaca Al-Qur’an dengan tartil sehingga secara umum kemampuan baca Qur’an masyarakat indonesia semakin bagus dan secara khusus bisa menjadi bekal para imam yang disiapkan lembaga dakwah tersebut dalam menjalankan tugas syi’arnya. Karena menjadi tanggung jawab lembaga yang mendelegasikan para imam tersebut untuk membekali ilmu Qur’an supaya umat (jamaah) tidak lagi merasa ragu dan bingung mendapati imamnya yang tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, Sehingga kekhusukan dalam beribadah dapat tercipta. Wallahu a’lam.
Oleh: Ahmad Munir

0 komentar:

Posting Komentar